Tingkat Penyelesaian Perkara Dinilai Rendah, Legislator Komisi III Soroti Lemahnya Koordinasi Aparat di Sulteng

Anggota Komisi III DPR, Benny Utama, saat mengikuti rapat kerja bersama jajaran Polda Sulawesi Tengah, Kejaksaan Tinggi (Kejati), dan BNNP Sulteng di Palu, Jumat (25/7/2025). Foto: Eki/vel
PARLEMENTARIA, Palu – Komisi III DPR RI menyoroti kinerja aparat penegak hukum di Sulawesi Tengah setelah menemukan data bahwa tingkat penyelesaian perkara sepanjang tahun 2024 hanya mencapai 48 persen. Angka ini dinilai rendah dan diduga kuat disebabkan oleh lemahnya koordinasi antara pihak kepolisian selaku penyidik dan kejaksaan sebagai penuntut umum.
Kritik tersebut disampaikan secara langsung oleh Anggota Komisi III DPR, Benny Utama, dalam rapat kerja bersama jajaran Polda Sulawesi Tengah, Kejaksaan Tinggi (Kejati), dan BNNP Sulteng di Palu, Jumat (25/7/2025).
"Saya melihat data perkara selama tahun 2024 ada 5.536 kasus, namun tingkat penyelesaiannya hanya 2.666 kasus. Kalau kita persentasekan, jumlahnya di bawah 50 persen, sekitar 48 persen," papar Benny di hadapan Kapolda dan Kajati Sulteng.
"Dengan tingkat penyelesaian hanya 48 persen, ini rasa-rasanya cukup rendah. Ini tentu berkaitan dengan fungsi-fungsi koordinasi antara penyidik dan penuntut umum," lanjutnya.
Menurut Benny, rendahnya angka penyelesaian kasus ini akan berdampak langsung pada menurunnya tingkat kepastian hukum dan kepuasan masyarakat dalam mendapatkan rasa keadilan. Ia menegaskan bahwa masalah koordinasi ini juga menjadi salah satu perhatian serius yang dibahas dalam Rancangan Undang-Undang KUHAP yang baru.
Untuk mengatasi persoalan ini, Benny menyarankan sebuah solusi praktis yang pernah ia terapkan sebelumnya, yaitu melalui pertemuan informal rutin antar pimpinan lembaga penegak hukum.
"Barangkali ke depan perlu dilakukan pertemuan-pertemuan informal, Pak Kapolda, Pak Kejati, agar koordinasi untuk penyelesaian kasus bisa lebih berkualitas," usulnya.
Ia meyakini pendekatan informal lebih efektif untuk memecah kebuntuan dan ego sektoral yang terkadang masih tinggi di antara institusi.
"Kalau formal, barangkali arogansi lembaga kita masih cukup tinggi. Kalau informal biasanya rasa kekeluargaannya lebih terasa. Dulu hakim juga kita libatkan di situ, karena biasanya lebih mengena," pungkas Benny, seraya menyimpulkan bahwa penyelesaian perkara di wilayah tersebut masih perlu banyak perbaikan. (eki/aha)